Do the things you know, and you shall learn the truth you need to know, do what you can, with what you have, don’t be afraid to take a big step, TO ALL MY FRIENDS, SHOW UP YOUR CREATIVITY

Rabu, 15 Juni 2011

Malang Kembali dan Kejujuran Sejarah

oleh: Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I., Kepala Madrasah Diniyah al-Furqon Kauman Malang.


Hajatan tahunan khas Malang kembali digelar, Kamis – Ahad, (19-22/5). Sesuai dengan tajuknya Malang Kembali, Jalan Ijen yang membelah kota, ‘disulap’ menjadi kawasan baheula. Penganan dan pakaian yang dijajakan seluruhnya bernuansa klasik. Penjaga stan pun diharuskan mengenakan pakaian jadul. Angkutan selain becak, sepeda onthel, serta andong yang ditarik kuda, dilarang melintas di sepanjang jalan tersebut. Jalan Ijen “berubah” menjadi Malang tempo dulu.
Kota ini memang istimewa. Namanya terpahat dalam lintas sejarah, mulai jaman kerajaan, era perjuangan, hingga negeri ini berhasil meraih kemerdekaannya. Sejarah umat juga mencatat, Malang, yang meliputi kota dan kabupaten, pernah menjadi saksi perjuangan kemerdekaan yang dipelopori oleh ulama dan santri. Tercatat, gerakan Hizbullah dan Sabilillah bermarkas di wilayah ini.
Namun sayang, menelusuri Malang Kembali dari ujung ke ujung, tak akan didapati satu stan atau keterangan apapun tentang dua laskar rakyat paling kuat yang pernah hidup di bumi Indonesia itu. Tahun demi tahun, keduanya tak pernah muncul di gelaran Festifal Malang Tempo Doeloe (MTD). Entah karena memang tak ada unsur pemerintah, organisasi massa Islam, atau masyarakat yang berminat mengangkatnya, atau karena memang warga Malang telah melupakan dua laskar rakyat yang notabene dilahirkan dari rahim Malang itu.
Pemandangan serupa dapat dilihat di Museum Brawijaya yang juga terletak di Jalan Ijen. Tak ada peninggalan Hizbullah atau Sabilillah yang tersimpan, atau paling tidak diorama yang menggambarkan perjuangan ulama dan kaum santri di sana. Museum ini rupanya mewakili rata-rata museum lainnya di Indonesia yang dalam bahasa Mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) di era Presiden Habibie, almarhum Letnan Jenderal (Purn) ZA Maulani, “Sangat zalim dalam merekam perjalanan sejarah bangsanya sendiri.” (www.eramuslim.com).
Lalu, benarkah Malang, baik otoritas maupun penduduknya, benar-benar telah melupakan Hizbullah dan Sabilillah, yang sangat terkait dengan sejarah kota bunga ini?
Beruntung, meski disisihkan dalam sejarah dan museum-museum yang ada di negeri ini, di Malang ada “monumen-monumen” khusus untuk mengabadikan perjuangan laskar yang telah menjadikan negara ini merdeka dan mampu mempertahankannya. Di Jalan Ahmad Yani Blimbing Malang, berdiri megah Masjid Sabilillah. Ihwal riwayat pendiriannya, KH Syukran Makmun dari Jakarta, dalam ceramahnya di Singosari Malang tahun 1990-an, punya kisahnya. Syahdan, seorang ulama menemui KH Masjkur yang saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sang ulama mengeluhkan tidak adanya peran Hizbullah dan Sabilillah yang direkam oleh diorama di Monumen Nasional (Monas) Jakarta. Pendek kalam, akhirnya atas prakarsa KH Masjkur yang juga putra Malang dan mantan Pemimpin Markas Tertinggi Sabilillah, didirikanlah Masjid Sabilillah di Malang. Di teras masjid ini, dibangun sebuah prasasti untuk mengenang perjuangan kemerdekaan yang dipelopori oleh alim ulama itu.

Saat ini, di kawasan masjid tersebut juga berdiri lembaga pendidikan yang menginduk pada Yayasan Sabilillah. Dulunya, yayasan itu bernama Yayasan al-Masykur. Namun pada perkembangannya, KH Masjkur secara pribadi meminta agar nama yayasan tersebut diubah menjadi Yayasan Sabilillah.
Selain Masjid Sabilillah, ada lagi Masjid Hizbullah, terletak di Jalan Masjid Singosari, 11 Km dari kota Malang. Keberadaan Masjid ini tak bisa dilepaskan dengan Yayasan Pendidikan al-Ma’arif Singosari. Keduanya didirikan oleh KH Masjkur, menempati satu kawasan lahan yang diwakafkan dia. Berdiri sejak zaman sebelum kemerdekaan, masjid tersebut pada awalnya tidak bernama Hizbullah. Sebelum tahun 1996, Masjid Hizbullah biasa disebut dengan Masjid Jami’ Singosari. Namun atas kesepakatan pengurus, dan untuk mengenang perjuangan laskar itu, pada 1996 masjid ini diberi nama Masjid Besar Hizbullah (Farhan Ismail: 2008).
Baik Masjid Hizbullah dan Yayasan Pendidikan al-Ma’arif, memiliki ikatan kental dengan sejarah Hizbullah dan Sabilillah. Pasalnya, selain karena kelahirannya sama-sama dibidani oleh KH Masjkur, madrasah dan masjid itu dulu juga menjadi markas Laskar Sabilillah.

Madrasah yang terletak di samping Masjid Hizbullah, menjadi “kawah candradimuka” calon laskar yang akan mengikuti pelatihan di Cibarusa Jawa Barat. Rekrutmen dan pendaftaran laskar dilakukan di madrasah itu. Guru-guru wajib menjadi laskar. Murid madrasah yang sudah baligh, semua diikutkan, termasuk KH Bashori Alwi, pengasuh Pesantren Ilmu al-Quran Singosari saat ini.
Singosari sebagai pusat markas Sabilillah, rupanya menjadi “benteng kokoh” bagi Belanda yang bernafsu untuk memasuki kota Malang. Namun dalam sebuah pagi buta di tahun 1947, Belanda di bawah pimpinan Jenderal Spoor menggempur dengan menembakkan kanon-kanon dan mortir hingga Singosari dan Malang hancur berantakan. Ketika Hasyim Asy’ari mendengar dari Jenderal Sudirman dan Bung Tomo tentang kekalahan di Singosari tersebut, ia sangat terkejut, sehingga pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU) itu terkena serangan stroke yang menyebabkan ia meninggal dunia (Kebangkitan Ulama, Biografi KH Hasyim Asy’ari, Yogyakarta: LKIS, 2000).
Salah satu kunci saksi sejarah perjuangan Hizbullah di Malang, baru saja meninggal dunia dalam usia 97 tahun. Namanya Umar Maksum, tinggal di Jalan Arif Margono, Kasin. Kedudukannya di Laskar Hizbullah bukan main-main. Ia adalah mantan komandan Batalyon 12, 7 Sunan Giri.
Ketika permohonan para ulama untuk mendirikan barisan perjuangan pemuda Islam dikabulkan militer Jepang, pada 14 September 1944 didirikanlah Hizbullah di Jakarta. Para pemuda santri, tanpa gamang, mengingat ini panggilan jihad membela negara bangsa, antre mendaftarkan diri masuk Hizbullah.
Tujuh pemuda Malang, yakni Mukhlas Rowi, Abdul Manan, Syamsul Islam, Dimyathi, Nursalim, Hamid Rusdi, dan Umar Maksum, saat itu diminta datang ke Jombang oleh KH Hasyim Asy’ari. Lima orang dari tujuh pemuda muslim itu lantas masuk ketentaraan formal. Sedangkan Umar muda bersama Dimyathi, disarankan untuk masuk tentara kelaskaran, yakni Hizbullah.
Akhirnya, terbentuklah dua batalyon di kota Malang yang pada perkembangannya juga menjadi markas tertinggi Barisan Sabilillah. Dimyathi ditunjuk sebagai Komandan Batalyon Sultan Agung yang berkedudukan di Singosari. Sedangkan Umar Maksum ditunjuk sebagai Komandan Batalyon Sunan Giri yang berkedudukan di Malang. Salah satu dari tujuh pemuda itu, yakni Hamid Rusdi, sekarang dianggap sebagai pahlawan oleh warga Malang. Namanya diabadikan menjadi sebuah nama jalan di sebelah barat alun-alun kota. Bahkan, kini namanya ditahbiskan menjadi nama terminal angkutan dan bus di Malang, menggantikan terminal Gadang.
Di kota dingin ini juga, kekuatan Hizbullah dan Sabilillah digalang untuk bergerak menuju Surabaya, yang waktu itu akan diduduki penjajah dan kemudian dikenal dengan peristiwa 10 Nopember. Umar Maksum pernah mengajak Bung Tomo menemui Kiai Mukti di Kasin untuk pembekalan, sebelum pertempuran heroik di Surabaya itu, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Tiga ribu pasukan Hizbullah pernah mengepung pos polisi Belanda di Puspo, Pasuruan. Tanpa perlawanan yang berarti semua anggota polisi di markas tersebut menyerahkan diri. Mayor Umar dan pasukannya berhasil membebaskan para tawanan, di antaranya Letnan Acup Zainal, pria yang dalam masa kemerdekaan dikenal sebagai pendiri kesebelasan Arema Malang (sekarang Arema Indonesia).


Setelah perjuangan selesai, pengelolaan aset-aset Hizbullah diserahkan Mayor Umar kepada Nahdhatul Ulama (NU). Pertama, sebidang tanah hasil rampasan dari Jepang yang terdapat di Kauman Dalam, sekarang digunakan sebagai Kantor Pengurus Cabang NU. Kedua, gedung di Jalan Celaket nomor 10, sekarang menjadi SMU Salahuddin. Ketiga, gedung di Jalan Kartini nomor 2, sekarang menjadi SMU Islam. Keempat, tanah seluas 2500 m2 di Kebonsari, Kebonagung yang kini di atasnya dibangun gedung sekolah al-Hidayah.
Gedung-gedung itu tidak diberikan Umar ke tentara, tapi untuk kepentingan pendidikan. Ia ingin aset-aset itu nanti bisa berguna untuk perjuangan umat dalam bidang pendidikan. Bersama masyarakat kampungnya di Kasin, Umar lantas membangun monumen Hizbullah berupa Masjid al-Mukarramah. Dulunya, di lokasi masjid ini, terdapat langgar dan rumah Kiai Mukti. Dari tempat itulah, sebagian besar tentara Indonesia yang tergabung dalam Barisan Hizbullah minta doa restu kepada Kiai Mukti. Dari tempat itu pula, Kiai Mukti mengobarkan semangat jihad kepada laskar Hizbullah.
Dus, meski dipinggirkan dalam sejarah, jejak Hizbullah-Sabillah di beberapa titik di wilayah Malang meniscayakan benang merah, bahwa pengabdian kedua laskar itu tak berakhir. Buktinya, kebanyakan asetnya kini menjelma menjadi tempat ibadah dan pendidikan. Perjuangan tulus yang mestinya tak boleh lekang oleh zaman, meski bangsa ini kurang jujur dalam merekam perjalanan sejarah bangsanya sendiri.

Dimuat Majalah Media Ummat, Edisi Juni 2011

1 komentar:

  1. alhamduliLLah., sebuah cerita lain dari kisah yang bertalian dengan peristiwa 10 November., agaknya.,bangsa kita memang kurang jujur dalam menceritakan sejarah dirinya sendiri., semoga kita bisa meneruskan perjuangan dengan setulus hati., seperti pendahulu2 kita., d(^_

    BalasHapus